Butterfly era

Seperti kelopak bunga yang disentuh angin pertama musim semi. Ada sesuatu yang lembut namun menggebu di dada, seperti seribu kupu-kupu menari, masing-masing membawa satu senyumnya dalam kepakan halus mereka.

Dia...  
Bukan matahari yang membakar, tapi hangatnya cukup untuk membuatku lupa dingin dunia. Bukan bintang yang jauh, tapi sorot matanya seperti langit malam yang bersedia kutatap selamanya.

Aku menyukai caranya menyebut namaku, seolah itu adalah kata terindah yang pernah ia ucapkan. Aku menyukai caranya duduk di seberangku, tampak biasa, namun membuat seluruh semestaku sibuk menyusun puisi dalam diam.

Aku suka bulu matanya, manis. Mendebarkan jantung jika dipandang. Aroma tubuhnya kini menjadi favoritku, dan yang paling membuatku rindu jika sehari tak bertemu. 

Lucu ya...  
Aku jadi sering senyum sendiri. Kadang hanya karena dia membalas pesanku dengan emotikon yang tak begitu penting. Atau karena dia menyebutkan lagu yang entah bagaimana langsung jadi lagu favoritku juga.

Dunia rasanya jadi tempat yang lebih lembut. Hujan tak terlalu dingin, Senin tak terlalu menyebalkan, dan waktu... ah, waktu berjalan seperti lirik lagu cinta yang tak ingin selesai.

Aku suka saat kami berjalan berdampingan, tanpa perlu menyentuh. Tapi jarak itu terasa seperti ruang untuk bunga-bunga bermekaran. Aku suka mendengar ceritanya tentang kopi kesukaannya, hobinya yang aneh, dan keluhannya tentang hidup. Entah kenapa, semuanya terdengar seperti musik latar yang cocok dengan debar jantungku.

Aku suka saat dia menawarkan diri mengantarku pulang, menjadi pendengar ceritanya sepulang bekerja, dia manis. 

Kehadirannya mengenalkanku pada bagaimana rasanya jatuh cinta lagi ❤️

Comments